Ulasan Film “The Accountant” oleh Kemal Athalla Rahman

[et_pb_section fb_built=”1″ _builder_version=”4.4.8″ custom_padding=”0px||0px|||”][et_pb_row _builder_version=”4.4.8″ width=”100%” custom_padding=”0px|||||”][et_pb_column type=”4_4″ _builder_version=”4.4.8″][et_pb_code _builder_version=”4.4.8″ text_orientation=”center” hover_enabled=”0″ disabled_on=”off|off|off”]

Nilai

[/et_pb_code][et_pb_text _builder_version=”4.4.8″]

“You think if you don’t fight back then maybe they’ll like you, stop picking on you and calling you a freak? Well here’s what it is. They don’t like you, they don’t dislike you. They’re afraid of you. You’re different. Sooner or later, difference scares people. Victim or not? Make a decision.

Kutipan diatas adalah kutipan dari film ini yang menurut saya menjelaskan alur dari film ini secara keseluruhan. Sang tokoh utama, Chris Wolff, adalah seorang penderita sindrom Asperger (high functioning autism), dimana ia dapat menulis, berbicara, menghitung, dan membaca dalam tingkat yang lebih tinggi daripada manusia biasa. Sang ayah, alih-alih menaruh anaknya di pusat pengobatan musim panas, memutuskan untuk mendidik Chris dan saudaranya, Braxton dengan cara yang sangat keras – pindah rumah 34 kali dan mengikuti pendidikan ala militer – dengan dalih bahwa “dunia tidak akan menaruh iba dan kalian akan terus ditakuti“. Masa kecil yang sangat keras pun akhirnya berujung pada perpisahan kedua saudara dan ayah mereka. Dalam beberapa hal, baik Chris maupun Braxton masih menunjukkan rasa kagum sekaligus dendam terhadap kedua orang tua mereka yang berperan terhadap masa kecil mereka yang tidak bahagia

Walaupun film ini secara garis besar plot adalah film “who-did-it” dan mengandung action scenes yang tidak kalah apik, topik utama dari film ini tetap berpusat pada dilema didalam diri Chris tentang sebuah “kehidupan normal”, dimana ia bisa berinteraksi layaknya manusia biasa. Beberapa line seperti yang dibawah ini adalah hal yang paling saya sukai dari film ini.

Christian Wolff: “Why was this dress so important to you?”
Dana Cummings: “It wasn’t about the dress. I just wanted to walk into the gym and have everybody say, “Wow!” I was trying to belong. I was trying to connect. I think no matter how different we are, we’re all trying to do the same thing. Um, but I lost all but twenty dollars in the first ten minutes. I fed that into a nickel slot on the way out, and I won two grands.”

Film ini berhasil dalam mengangkat suatu pesan yang cukup penting: pengidap kelainan mental bukanlah orang yang harus dijauhi dan “dirubah”. Pesan ini sangat penting terutama bagi masyarakat Indonesia yang masih menganggap kelainan mental sebagai sebuah bentuk kutukan dan aib bagi masyarakt.

Aspek teknis dari film ini yang menarik adalah eksposisi alur. Salah satu hal yang membuat plot twist di film ini tereksekusi secara sempurna adalah eksposisi yang bertahap, dimana beberapa petunjuk diberikan berkala seiring jalannya film, tidak serta-merta diberikan di akhir. Action scenes di film ini bagus dan terbilang masih cukup realistis. Beberapa hal yang cukup mengganggu adalah begitu banyaknya error didalam proses pengambilan scene, seperti luka di mulut Braxton yang tiba-tiba hilang dan muncul di scene akhir. Beberapa kesalahan grammar bahasa juga terlihat (contohnya adalah “le vie” di scene Prancis dimana seharusnya adalah “la vie” sesuai grammar bahasa Prancis). Walaupun begitu, hal-hal ini dapat tertutupi oleh plot yang terstruktur dan cukup dimaklumi.

Penulis: Kemal Athalla Rahman

[/et_pb_text][/et_pb_column][/et_pb_row][/et_pb_section]

Leave a Reply